بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kamis, 18 September 2014

MEMAHAMI MAKNA IDUL ADHA



Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.

Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rakaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.

Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Shaffat ayat 102-109.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.

Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.

Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.

Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220)
     
Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?

Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri—justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.

Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)  
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.

Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.

Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.

Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.

Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya.

Senin, 15 September 2014

PEMIKIRAN ORANG BIASA YANG MUAK NONTON BERITA DI TELEVISI

Regulasi tentang Pilkada menjadi topik hangat di negeri ini. Usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan pada DPRD menuai pro-kontra. Sekali lagi, anak bangsa ini terbelah seperti di Pilpres kemarin. 

Kedua sistem pemilihan kepala daerah (langsung dan tak langsung), masing masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Pada sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, partisipasi masyarakat sangat dimungkinkan. Sehingga kepala daerah yang terpilih lebih legitimate. Sementara pada pemilihan kepala daerah tidak langsung (DPRD yang memilih) tidak membutuhkan cost penyelenggaraan pemilihan yang besar. Juga lebih cepat dan efisien. 

Kerikil mewarnai proses demokratisasi di negeri ini. Sistem pemilihan langsung, menyuburkan praktek money politic sebagai efek samping yang justru merusak tatanan kemasyarakatan serta sebagian sistem nilai. Misalnya ketulusan yang berganti pragmatisme material. Perbedaan pilihan dilevel grass root yang berakibat renggangnya relasi sosial kekeluargaan. Paman dan kemenakan bisa berseteru. Orang yang bersepupu bahkan bersaudara bisa jadi bermusuhkan karena pemilihan langsung. Sementara pemilihan kepala daerah melalui DPRD memberi ruang tersanderanya kepala daerah yang terpilih, oleh kepentingan tertentu dari DPRD. 

Apakah ada solusi lain? 

Bagaimana jika Kepala Daerah dipilih oleh Tim Seleksi? Proses pemilihan melalui prosedur yang ketat. Bukan hanya berbagai formulir misalnya Bertakwa Pada Tuhan YME melalui selembar surat bermaterai, tapi melalui uji kompetensi. 

Tim Seleksi dipilih dari akademisi, agamawan, profesional. Jumlah tim seleksi sebanyak 7 orang yang dipilih dari DPR dan Presiden. 

Prosedur pemilihannya adalah sebagai berikut:
1. Pendaftaran
2. Pemberkasan
3. Tes Tertulis - Peraturan Perundang-undangan - Kebijakan Publik - Ideologi Pancasila Versus Neo-Liberalisme - Lokalitas - Keseimbangan ekologi, kesetaraan gender, nilai budaya lokal
4. Psikotes --> diganti soal psikotesnya, jangan yang itu itu terus
5. Tes Kesehatan --> kalau ada rekomendasi dokter, digugurkan
6. Tes Kejiwaan --> jika suka bertopeng (sok religius) langsung digugurkan
7. Pembuatan Makalah tentang Visi dan Misi sebagai Kepala Daerah
- Gambaran umum --> Term Of Reference (TOR) Tentang kondisi global, nasional, regional, lokal
- Visi dan Misi - Penjabaran pokok-pokok program kerja bila terpilih jadi kepala daerah
- Output yang dihasilkan apabila telah 5 tahun menjabat sebagai kepala daerah
8. Persentase Makalah --> Tim seleksi menguji keshahihan tulisan pemakalah serta kesesuaian alur pikir dengan verbalnya.
9. Tanggapan Masyarakat --> melalui surat rekomendasi organisasi yang diakui keberadaannya oleh Kesbangpol dan Kemenkumham
10. Pleno Tim Seleksi
11. Penetapan Kepala Daerah yang terpilih.

Selama proses, Tim Seleksi harus transparan pada publik. Agar publik dapat memantau dengan jelas kinerja tim seleksi. Demikian pula tanggapan masyarakat harus transparan. Mekanisme pembunuhan karakter melalui surat kaleng dapat dihindari.

Keunggulan sistem ini adalah:
1. Kepala Daerah yang terpilih memiliki kompetensi yang cukup. Baik secara intelektual maupun kapabilitas organisasi.
2. Calon kepala daerah tidak butuh donatur dan dana besar (yang bisa jadi menyandera kebijakan)
3. Tidak ada kemungkinan terjadinya money politic di level grass root
4. Calon kepala daerah tidak perlu tim pemenangan yang butuh biaya besar (orang miskin punya peluang menjadi kepala daerah)
5. Calon kepala daerah tidak perlu repot bikin pencitraan yang bisa jadi membuatnya kehilangan jati diri yang sesungguhnya
6. Kepala Daerah yang terpilih tidak tersandera oleh DPRD seperti yang dikhawatirkan banyak orang
7. Calon kepala daerah tidak perlu repot dengan urusan silsilah (misalnya keturunan pangeran diponegoro atau tuduhan sebagai anak anggota partai terlarang)
8. Kepala Daerah tidak perlu galau bila berbeda pendapat dengan ketua umum atau dewan pembina atau pengurus dari partai apapun. Sebab ia bertanggung jawab pada rakyat bukan pada partai politik
9. Jelas Kepala Daerah tidak perlu bayar lembaga survey
10. Jelas tidak ada lagi saling tuduh lembaga survey abal abal
11. Partisipasi masyarakat dalam demokrasi melalui "Tanggapan Masyarakat"..bukan pencoblosan dibilik suara setelah menerima serangan fajar.
12. Kepala Daerah tidak perlu dibebani dengan istilah "program 100 hari" (kenapa bukan program 99 hari atau 101 hari,kwkwkw). Tapi kepala daerah harus memberi hasil yang pasti jika ia menjalankan pemerintahan daerah selama satu periode. Sehingga indikator keberhasilannya dapat terukur dengan jelas.
13. Pasti biaya pemilu menjadi sangat murah
14. Pasti PNS bisa lebih fokus dengan urusannya, bukan mengurusi urusan tim sukses
15. Aparat keamanan tidak perlu repot dengan urusan pemilihan kepala daerah
16. KPU tidak perlu khawatir kantornya dibakar atau di demo massa yang tidak puas

Mungkin orang akan tertawa membaca tulisan diatas. Ya mungkin saja. Sebab tulisan diatas hanyalah pemikiran dari orang biasa yang muak nonton TV