بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selasa, 03 Mei 2016

KEKHUSUSAN TINDAK PIDANA EKONOMI DIBANDINGKAN TINDAK PIDANA UMUM



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hukum dalam arti luas adalah aturan, kaidah atau norma  atau suatu rangkaian petunjuk hidup yang berisi perintah dan larangan yang dikeluarkan atau berasal dari negara yang bertujuan untuk menjaga keamanan, ketertiban dan keadilan masyarakat serta mempunyai sanksi yang tegas dari negara kepada mereka yang tidak mentaatinya. Norma yang mengatur tingkah laku manusia tersebut ada 5 yakni : norma agama, norma kesusilaan atau moral, norma kesopanan, norma kebiasaan atau adat, dan norma hukum. Norma-norma tersebut mempunyai sumber, sifat, tujuan, dan sanksi yang berbeda.
Hukum terbagi menjadi dua kelompok, yakni hukum perdata (hukum privat) adalah kelompok hukum yang mengatur hak, harta benda dan hubungan seseorang yang satu dengan yang lain dalam suatu negara yang menitik-beratkan pada kepentingan pribadi/privat. Dan hukum publik (hukum umum) adalah hukum yang mengatur hubungan seseorang sebagai warga negara dengan negara yang menitik-beratkan pada kepentingn umum. salah satu dari kelompok hukum publik adalah hukum pidana yakni hukum yang mengenai kejahatan dan pelanggaran (perbuatan kriminal) dengan sanksi. Perbuatan tindak pidana dapat dikhususkan menjadi beberapa bidang salah satunya adalah delik ekonomi.
Delik ekonomi adalah perbuatan pidana ekonomi,[1] dalam perbuatan ini terdapat peraturan perundangan  yang khusus yakni Undang-undang No. 7 tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Undang-undang ini menjelaskan tentang jenis kejahatan, proses persidangan, sanksi yang mengatur tentang delik ekonomi. Penjelasan tersebut adalah ciri kekhususan peraturan ini (lex special) dari kitab Undang-undang hukum pidana sebagai hukum umum (lex generalis). 

B.  RUMUSAN MASALAH
              Adapun yang menjadi masalah pokok dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
            1. Bagaimanakah kekhususan tindak pidana ekonomi dibandingkan tindak pidana umum?
            2. Bagaimanakah perbedaan sanksi pidana dan sistem peradilan dalam tindak pidana ekonomi?

C.  METODE PENULISAN
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mencari bahan dari sumber-sumber buku yang ada yang sesuai dan akurat dengan apa yang ada dalam penulisan makalah ini. Sumber makalah  adalah dari buku catatan kuliah yang disampaikan oleh dosen saat perkuliahan, buku-buku tentang tindak pidana ekonomi, serta penulis menambah bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan permasalahan di atas.


 BAB II
PEMBAHASAN

A.  KEKHUSUSAN TINDAK PIDANA EKONOMI DIBANDINGKAN TINDAK PIDANA UMUM
            1.      Adanya Perluasan Subjek Hukum Dalam Hukum Pidana  Ekonomi
Subjek adalah pelaksana atau pelaku yang terlibat dalam pelaksaan kegiatan, dalam konteks ini kegiatan tersebut adalah perbuatan hukum. Subjek hukum dalam pasal 2 - 9 KUHP diterapkan bagi bagi setiap orang yang melakukan delik di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia tetapi di dalam kapal atau pesawat Indonesia.
Subjek dalam dalam tindak pidana bidang ekonomi, dalam Pasal 15 (ayat 1-4) UUTPE suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka dijatuhkan hukuman pidana maupun tata tertib pada perseroan, perserikatan, maupun yayasan ataupun pada pada mereka yang memberikan perintah tindak pidana ekonomi tersebut maupun yang menjadi pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian tersebut.[2] Jika delik tersebut dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak itu dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.
Apabila suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus atau, jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain, Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu di bawa ke hadapan hakim. Tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor.[3]
Pasal 15 menetapkan, bahwa hukuman atau tindakan dapat dijatuhkan juga terhadap badan-badan hukum, perseroan-perseroan, perserikatan-perserikatan dan yayasan-yayasan. Dalam hukum pidana ekonomi aturan itu sangat dibutuhkan, oleh karena banyak tindak pidana ekonomi dilakukan oleh badan-badan itu. Ilmu hukum pidana modern telah mengakui ajaran, bahwa hukuman dapat diucapkan terhadap suatu badan hukum. Ayat 1 pasal 15 menentukan, bahwa suatu tindak pidana ekonomi dapat dilakukan oleh suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan atau suatu yayasan. Ayat 2 menentukan, dalam hal-hal mana suatu tindak pidana ekonomi dianggap dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu.[4]
Tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, apabila tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang mempunyai suatu hubungan dengan badan itu, baik berdasar hubungan kerja, maupun berdasar hubungan lain. Selanjutnya ditentukan, bahwa orang itu harus bertindak "dalam lingkungan badan hukum itu". Anasir-anasir tindak pidana ekonomi itu tidak usah berada pada satu orang, akan tetapi dapat dibagi pada lebih dari satu orang yang bertindak. Misalnya seorang direktur berniat melakukan suatu tindak pidana ekonomi, akan tetapi tindak pidana itu secara materiil dilakukan oleh seorang bawahan (bandingkanlah pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, suruh melakukan). Tuntutan pidana dilakukan terhadap pengurus yang mewakili badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu. Jika pengurus itu tidak ditentukan dengan tegas, maka jaksa berhak untuk menunjuk seorang dari mereka sebagai wakil. Wakil itu dapat diwakili oleh orang lain, akan tetapi hakim berhak memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri.

           2.      Adanya Peradilan Absentia Dalam Hukum Pidana Ekonomi
Pada pasal 77 – 80 KUHP  menerangkan hapusnya penuntutan dikarenakan terdakwa meninggal atau lewatnya batas waktu penuntutan, penuntutan pidana  hapus karena lewat waktu. Makanya dari pasal di atas sudah jelas bahwa ketika seorang terdakwa dalam delik tersebut telah meninggal, atau waktu penuntutan delik tersebut sudah lewat, maka proses peradilan pidana tersebut selesai atau hapus. Dalam pasal 16 (ayat 1-6) menyebutkan bahwa:[5]
(1)  Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a.       memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang-undang darurat ini berlaku sepadan;
b.      memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.
(2) Putusan itu diumumkan oleh Panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Turunan dari putusan itu disampaikan kepada rumah di mana orang itu meninggal dunia.
(3) Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada panitera pengadilan atas putusan itu dalam masa tiga bulan setelah pengumuman termaksud ayat 2.
(4) Dalam hal itu jaksa didengar; pihak yang berkepentingan itu didengar juga, setidaktidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap.
(5) Putusan hakim harus memuat alasan-alasan. Terhadap putusan itu tidak dapat dimintakan bandingan atau kasasi.
(6) Ketentuan tersebut dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku juga, jika berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal. Putusan itu diumumkan dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Pada intinya pasal tersebut menerangkan bahwa ketika seseorang yang diduga melakukan tindak pidana ekonomi telah meninggal dunia, maka proses peradilan tindak pidana ekonomi tersebut masih berjalan, hal tersebut menjadi ciri kekhususan  bahwa tindak pidana ekonomi adalah hukum khusus dari hukum pidana.

          3.      Percobaan dan Membantu Pelanggaran Dapat Dipidana Dalam Hukum Pidana Ekonomi
Pasal 54 – 60 KUHP menerangkan bahwa mencoba dan membantu pelanggaran tidak di pidana, dari pasal tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran dan turut serta membantu pelanggaran maka seseorang tersebut tidak termaksud sebagai pelaku dan atau pembuat delik, maka sesorang tersebut tidak dapat dipidana.
Dalam pasal 4 UUTPE  disebut jika dalam undang-undang darurat ini disebut tindak pidana ekonomi pada umumnya atau suatu tindak pidana ekonomi pada khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan pada atau untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan untuk melakukan tindak pidana itu, sekadar suatu ketentuan tidak menetapkan sebaliknya. Pasal ini menyimpang dari pasal 54 dan 60 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini dianggap perlu mengenai tindak pidana ekonomi yang dipandang pelanggaran. Maksimum hukuman pokok yang mengancam pelanggaran ekonomi itu dikurangi dengan sepertiga, jika dilakukan percobaan atau ikut membantu perbuatan itu.

            4.      Perluasan Berlakunya Hukum Pidana
Pasal 2 KUHP ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia.
Dalam pasal tersebut  menjelaskan bahwa peraturan tersebut hanya berlaku bagi delik dalam wilayah Indonesia saja. Pasal 3 UUTPE menegaskan: Barangsiapa turut melakukan suatu tindak pidana ekonomi, yang dilakukan di dalam daerah hukum Republik Indonesia, dapat dihukum pidana; begitu pula jika ia turut melakukan tindak pidana ekonomi itu di luar negeri.[6]
Sebagai perluasan Pasal 2 kitab Undang-undang Hukum Pidana maka perbuatan ikut serta yang dilakukan di luar negeri dapat dihukum pidana juga, dalam Undang-undang ini berlaku bagi setiap delik yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia, dan berlaku juga bagi seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana ekonomi di luar wilayah Indonesia.

            5.      Adanya Penyelesaian di Luar Peradilan
Dalam pasal 82 KUHP (ayat 1- 4) menjelaskan bahwa tindak pidana yang hukumannya hanya denda saja menjadi hapus jika dengan sukarela maksimum dengan sukarela di bayar dengan denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah di mulai. Bila dikenai dengan perampasan maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau di bayar dengan taksiran harga. 

            6.      Penafsiran Kejahatan dan Pelanggaran Dalam Hukum Pidana Ekonomi
Pasal 2 (1 - 3) UUTPE Tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 1 c adalah kejahatan atau pelanggaran, sekadar tindak itu menurut ketentuan dalam undang-undang  yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran. Tindak pidana ekonomi yang lainnya, yang tersebut dalam Pasal 1 sub 1 e adalah kejahatan, apabila tindak itu dilakukan dengan sengaja. Jika tindak itu tidak dilakukan dengan sengaja, maka tindak itu adalah pelanggaran.
Tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 3e adalah kejahatan, apabila tindak itu mengandung anasir sengaja; jika tindak itu tidak mengandung anasir sengaja, tindak pidana itu adalah pelanggaran; satu dengan lainnya, jika dengan undang-undang itu tidak ditentukan lain.
Pasal ini mengadakan perbedaan antara tindak pidana ekonomi yang dianggap kejahatan dan tindak pidana ekonomi yang dianggap pelanggaran. Mengadakan perbedaan ini perlu karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengadakan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan akibat antara kejahatan dan pelanggaran itu.

           7.      Ketentuan Elastis dan Mudah Berubah Hukum Pidana Ekonomi
Tindak pidana bidang ekonomi biasanya menggunakan modus operandi yang sulit di bedakan dengan modus operandi kegiatan ekonomi yang biasanya. Dari sulit dibedakan tersebut, maka ketentuan mengenai hukum pidana bidang ekonomi elastis dan mudah berubah penafsirannya.
Dalam Perbedaan antara istilah economic crimes dan istilah economic criminality Economic crimes menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas) Economic criminality menunjuk kepada kejahatan konvensional, yang mencari keuntungan yang bersifat ekonomis, misalnya pencurian, penggelapan, pencopetan, perampokan, pemalsuan dan penipuan. Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia dalam UU No. 7 drt 1855 lebih condong ke dalam istilah economic crimes dalam arti sempit. Sebab UU tersebut secara subtansil hanya memuat ketentuan yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan (UU No. 7 drt 1955).

B.    PERBEDAAN SANKSI PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DALAM TINDAK PIDANA EKONOMI
            1.      Perbedaan Sanksi Pidana
Pasal 10 – 43 KUHP menjelaskan tentang  pidana konvensional dalam hal ini terdapat 2 jenis pidana yakni terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasn barang-barang tertentu, dan putusan hakim).[7]
Dalam pasal 6 - 8 dan 27 UUTPE  pidana non konvensional. Pasal 6 menentukan hukuman dan tindakan tata tertib yang pada umumnya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana ekonomi. Ayat 1 dan 2 mengatur hukuman pidana pokok sedang dalam ayat 3 disebut hukuman tambahan dan tindakan tata tertib yang perinciannya diatur dalam pasal-pasal yang berikut. Hukuman pokok adalah sama dengan hukuman pokok yang disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 10 KUHP) akan tetapi maksimum hukuman pokok itu adalah lebih berat dari pada yang lazim dipergunakan. Adapun alasan-alasannya telah diuraikan dalam penjelasan umum. Kemungkinan untuk menjatuhkan bersama-sama hukuman kawalan dan hukuman denda adalah sesuai dengan pandangan beberapa instansi yang bersangkutan, bahwa tindakan itu dalam banyak soal merupakan suatu tindakan represi yang setepat-tepatnya.
Pasal 7 mengenai hukuman tambahan. Hukuman tambahan ini dapat dijatuhkan, baik terhadap kejahatan, maupun terhadap pelanggaran. Hukuman tambahan yang disebut pada a dikutip dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 35 KUHP). Hukuman tambahan yang disebut dalam b - penutupan perusahaan si terhukum adalah suatu hukuman yang tepat bagi mereka yang berpendapat bahwa melakukan suatu tindak pidana ekonomi adalah normal, sehingga jika mereka itu tertangkap karena melakukan tindak pidana ekonomi hal itu pada hemat mereka itu merupakan risiko perusahaan biasa, yang dapat diperhitungkan dalam perhitungannya.
Dalam dunia perusahaan adalah pengulang-pengulang (recidivisten) yang tidak akan berhenti melakukan tindak pidana ekonomi sampai mereka tidak mampu lagi melakukan tindak pidana ekonomi itu. Adalah kemungkinan, bahwa penutupan perusahaan itu tidak rasional, misalnya apabila perusahaan itu adalah perusahaan yang mengambil bagian yang penting sekali dalam proses produksi atau distribusi. Untuk kemungkinan itu diadakan hukuman pengawasan atau pengampunan (Pasal 8 sub a). Penutupan perusahaan ialah suatu hukuman. Penyerahan perusahaan yang ditutup kepada orang lain, sehingga orang itu dapat melanjutkan perusahaan itu dengan tak terganggu, menimbulkan suatu pelarian dari hukuman itu. Oleh sebab itu maka penyerahan serupa itu dapat dihukum pidana berdasarkan pasal 32 dan penyerahan itu adalah batal menurut pasal 34, ayat 1.
Hukuman perampasan (pasal 7 sub c dan d) adalah penting sekali dalam peradilan tindak pidana ekonomi. Hukuman itu di samping sifat hukuman, mempunyai tujuan besar untuk mengakhiri pelanggaran dan membawa kembali barang-barang yang bersifat ekonomi dalam masyarakat. Titik berat terutama terletak pada hal yang terakhir itu. Berhubung dengan itu maka hukuman perampasan sebagai diuraikan dalam Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Pidana diperluas dalam Undang-undang Darurat ini: perampasan dapat dilakukan pada segala kejahatan ekonomi dan hampir segala pelanggaran ekonomi. Lagi pula perampasan itu tidak dibatasi sampai "benda", yakni barang bergerak yang berujud, akan tetapi dapat dilakukan juga terhadap barang tak bergerak dan yang tak berujud, misalnya hisab bank. Untuk menghindarkan kemungkinan, bahwa perampasan itu akan salah dipergunakan, maka ditentukan, bahwa perampasan itu hanya dapat dilakukan setelah diperoleh persetujuan dari jaksa yang bersangkutan (bandingkanlah pasal 18 ayat 2). Selanjutnya dianggap baik, apabila perampasan dapat dilakukan juga terhadap barang yang bukan kepunyaan atau milik si terhukum. Hal ini misalnya terjadi, jika tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang direktur dari suatu badan hukum, sedang barang yang harus dirampas adalah barang dari badan hukum itu.
Dunia perniagaan amat tergantung atas surat-surat izin, untuk dapat mengimpor dan mengekspor barang-barang tertentu perlu diperoleh lisensi, untuk mendapat premi-premi tertentu orang harus melakukan prestasi-prestasi tertentu. Hak-hak dan keuntungan-keuntungan itu diberikan oleh Pemerintah. Jika suatu pemborong tidak mempergunakan kayu yang diperoleh dengan lisensi dalam perusahaannya, akan tetapi menjual kayu itu di pasar gelap dengan harga yang tinggi sekali, tentu pemborong tidak harus mendapat lisensi yang baru.[8]
Pasal 8 menyebut tindakan-tindakan tata tertib yang dapat diambil jika dilakukan sesuatu tindak pidana ekonomi. Dengan tegas dinyatakan, bahwa tindakan tata tertib bukanlah tindakan tata tertib yang semata-mata dapat diambil: Pasal 6 ayat 3 menentukan, bahwa pun tindakan tata tertib yang disebut dalam peraturan-peraturan lain, dapat dilakukan. Dengan kata-kata lain: Pasal 8 adalah suatu tambahan, meskipun suatu tambahan yang penting sekali. Dalam a disebut pengampuan perusahaan si terhukum. Pengampuan itu dapat dilakukan terhadap suatu perusahaan dimana selalu dilakukan kecurangan-kecurangan atau di mana peraturan-peraturan yang diadakan untuk membesarkan produktivitas dilalaikan. Di samping itu ada hal-hal lain dimana tindakan ini dapat diambil. Pasal 11 memberi hak kepada hakim untuk mengadakan tindakan-tindakan dan mengeluarkan aturan-aturan sesuai dengan taraf keadaan perusahaan.
Dalam beberapa hal lebih baik pengampuan itu harus ditafsirkan sebagai pengawasan. Keuntungan yang diperoleh dari perusahaan itu dapat diberikan kepada si terhukum, akan tetapi kerugian yang diderita harus dipikul oleh yang bersalah.
Dalam b disebut uang jaminan. Uang jaminan itu hampir sama dengan hukuman denda. Perbedaan antara uang jaminan dan hukuman denda ialah, bahwa hukuman denda yang mungkin dijatuhkan itu lebih dahulu diserahkan kepada penuntut umum, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan dengan pasti dan dengan segera (bandingkanlah lebih lanjut pasal 12). Dalam c pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran, yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau dari tindak-tindak pidana semacam itu. Tindakan itu diambil di samping hukuman pokok yang mungkin terdiri atas hukuman denda. Dalam d disebut kewajiban untuk mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak atau meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak atas biaya si terhukum. Tindakan itu telah dikenal dalam beberapa peraturan. Yang belum dikenal ialah kewajiban melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat yang terjadi karena suatu tindak pidana ekonomi dilakukan.[9] Tindakan itu dapat menguntungkan baik Pemerintah maupun orang partikulir, misalnya dalam hal kepada si pembeli harus dikembalikan harga yang diterima oleh penjual lebih dari harga yang diizinkan menurut peraturan harga. Pelaksanaan praktis dari tindakan tata tertib ini dapat diatur oleh hakim menurut ketentuan pasal 10 ayat 1 dan 2.
Pasal 27 dan atas dasar yang sama juga pasal 28 sampai dengan 30 - telah diuraikan dalam penjelasan umum. Maksudnya pasal-pasal itu ialah, supaya gangguan dalam dunia perekonomian yang terjadi karena dilakukan sesuatu tindak pidana ekonomi, dapat ditiadakan dengan segera, sedang reaksi yang dengan segera dapat diadakan atas tindak pidana itu menimbulkan suatu "preventieve werking" yang kuat.

2.      Perbedaan Sistem Peradilan
Dalam Pasal 35  menyebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang Panitera atau lebih, dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi. Dan pengadilan tersebut pada ayat 1 disebut "Pengadilan Ekonomi."
Pasal 36 Seorang hakim pada Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. Pasal 37 Pengadilan Ekonomi dapat bersidang juga di luar tempat kedudukan Pengadilan Negeri. Pasal 38 Ketentuan dalam pasal 36 berlaku sepadan bagi jaksa dan panitera Pengadilan Ekonomi. Pasal 39 menjelaskan bahwa:
(1)   Jika beberapa tindak pidana ekonomi dilakukan oleh lebih dari satu orang, baik bersama-sama maupun masing-masing sendiri-sendiri, dan tindak-tindak pidana itu satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu, bahwa tindak-tindak pidana itu diadili oleh satu Pengadilan Ekonomi, maka kekuasaan Pengadilan itu terhadap seorang orang yang disebut tersangka atau pengikut serta, akan mengakibatkan, bahwa Pengadilan itu juga berkuasa mengadili orang-orang lain yang menjadi tersangka atau pengikut serta dalam perkara itu.
(2)   Jika si tersangka adalah suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka yang berkuasa ialah Pengadilan di tempat, di mana badan hukum, perseroan, perserikatan orang atau yayasan itu berkedudukan atau mempunyai kantornya.
Pasal 40 Sekadar undang-undang darurat ini tidak menentukan lain, maka Pengadilan Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi berpedoman kepada hukum acara pidana yang berlaku bagi pengadilan negeri.
Pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi (eenmansrechts-spraak). Pengadilan itu disebut Pengadilan Ekonomi (pasal 35). Sedapat mungkin ditunjuk sebagai hakim dan jaksa penjabat yang ahli dalam soal-soal perekonomian. Dengan menugaskan perkara pidana ekonomi kepada Jaksa dan Hakim yang melulu diberi tugas menyelesaikan perkara pidana itu, maka Pemerintah mengharap, bahwa mereka, dibantu oleh badan-badan dan pegawai-pegawai penghubung yang dianggap ahli dalam perekonomian, yang diwajibkan memberikan bantuannya kepada Hakim, Pegawai Penuntut dan Pengusut, baik di luar maupun di dalam persidangan (pasal 49), pula dibantu oleh pegawai-pegawai pengusut istimewa (pasal 17) dengan hak-hak istimewa (pasal-pasal 18 dan selanjutnya), akan melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.[10]
Berhubung dengan sangat kurangnya tenaga-tenaga hakim dan jaksa, maka diadakan kemungkinan untuk mempekerjakan seorang hakim dan jaksa pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi (pasal 36 dan pasal 38). Untuk mempercepat dan mempermudah mengadili beberapa perkara pidana ekonomi yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, baik bersama-sama maupun masing sendirisendiri yang ada hubungannya satu dengan yang lain, maka diadakan kemungkinan untuk mengadili perkara-          perkara itu oleh satu Pengadilan Ekonomi (pasal 39). Dalam tingkat pertama maka Pengadilan Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi berpedoman kepada hukum acara pidana yang berlaku bagi Pengadilan Negeri sekedar Undang-undang Darurat ini tidak menentukan lain (pasal 40).

 
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa dalam perbuatan tindak pidana ekonomi berbeda dengan tindak pidana biasa, perbedaan tersebut diantaranya adalah adanya perluasan subjek hukum dalam hukum pidana  ekonomi, adanya peradilan absentia dalam hukum pidana ekonomi, percobaan dan membantu pelanggaran dapat dipidana dalam hukum pidana ekonomi, penafsiran kejahatan dan pelanggaran dalam hukum pidana ekonomi, perluasan berlakunya hukum pidana, ketentuan elastis dan mudah berubah hukum pidana ekonomi.
Dari beberapa ciri kekhusasan tersebut menjelaskan bahwa tindak pidana bidang ekonomi merupakan hukum khusus dari hukum pidana. Dari berbagai kasus dan referensi yang penulis dapat dari media online dan internet, pelaku dari tindak pidana bidang ekonomi merupakan penjahat berkerah putih, yang merupakan para pelaku usaha yang sukses yang ahli di bidangnya, dan perbuatan tersebut cenderung tak berbeda dengan perbuatan ekonomi biasanya.
Untuk mengungkapkan kasus tindak pidana bidang ekonomi, dibutuhkan para penegak hukum yang ahli dalam ranah ekonomi, para penegak hukum tersebut mulai dari penyelidikan dan penyidikan yakni pihak kepolisian atau pegawai negeri yang ditunjuk oleh Undang-undang, penuntutan yakni pihak kejaksaan, dan dalam mengadili dari para hakim di pengadilan. Keseluruhan alat negara tersebut harus saling bersinergi dan bekerjasama guna mengungkapkan kegiatan-kegiatan tindak pidana ekonomi.

B.     SARAN
Perbuatan tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana yang khusus, dalam mengungkapkannya memerlukan para penegak hukum yang merupakan alat kelengkapan negara yang memiliki pemahaman, integritas dan loyalitas yang yang tinggi pada pekerjaan dan negara. Mengapa demikian? karena dalam tindak pidana ekonomi merupakan lahan basah yang kebanyakan pelaku delik tersebt merupakan para pelaku ekonomi yang sukses dan ahli di bidangnya, yang cenderung dapat melakukan berbagai cara untuk mencapai keinginan yang dia kehendaki.
Peran dari para penegak hukum menjadi ujung tombak kekuatan hukum di Indonesia, khususnya di bidang ekonomi yang menjadi lahan yang sangat sensitif terhadap bagi intervensi negara. kegiatan Ekonomi merupakan rutinitas semua orang, karena itupun sagala akibat yang terjadi oleh perbuatan itu baik yang positif maupun negatif merupakan tanggung jawab bersama dan khususya pemerintah agar menciptakan kenyamanan dan keadilan bagi warga negaranya.




DAFTAR PUSTAKA


Bambang, Widiantoro, 2013. Tindak Pidana Bidang Ekonomi, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta 

Hamzah, Andi,1983. Undang-undang No. 8 Tahun 1982 Tentang Hukum Acara        Pidana. PT. Asdi Mahasatya, Jakarta 2011.

Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

http://www.transparansi.or.id Ancaman Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Ekonomi. Diakses pada tanggal 18 April 2016.

http://www.transparansi.or.id Hukum Pidana Ekonomi: Kejahatan Bidang Ekonomi. Diakses pada tanggal 19 April 2016.


[1]  Bambang, Widiantoro, 2013. Tindak Pidana Bidang Ekonomi, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta, Hal. 73 
[2]  http://www.transparansi.or.id Ancaman Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Ekonomi, diakses pada tanggal 18 April 2016 Pukul 21.35 WIB
[3]   Ibid.
[4]  Bambang, Widiantoro, 2013. Tindak Pidana Bidang Ekonomi, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta, Hal. 73
[5]  Ibid, Hal. 96
[6]  Hamzah, Andi,1983. Undang-undang No. 8 Tahun 1982 Tentang Hukum Pidana. PT. Asdi Mahasatya, Jakarta 2011
[7] Bambang, Widiantoro, 2013. Tindak Pidana Bidang Ekonomi, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta, Hal. 126 
[8] http://www.transparansi.or.id Ancaman Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Ekonomi. Diakses pada tanggal 18 April 2016, Pukul 21.48 WIB
[9] http://www.transparansi.or.id Hukum Pidana Ekonomi: Kejahatan Bidang Ekonomi. Diakses pada tanggal 19 April 2016, Pukul. 16.17 WIB
[10]  Ibid

Tidak ada komentar: