BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum dalam arti
luas adalah aturan, kaidah atau norma atau suatu rangkaian petunjuk hidup
yang berisi perintah dan larangan yang dikeluarkan atau berasal dari negara
yang bertujuan untuk menjaga keamanan, ketertiban dan keadilan masyarakat serta
mempunyai sanksi yang tegas dari negara kepada mereka yang tidak mentaatinya.
Norma yang mengatur tingkah laku manusia tersebut ada 5 yakni : norma agama,
norma kesusilaan atau moral, norma kesopanan, norma kebiasaan atau adat, dan
norma hukum. Norma-norma tersebut mempunyai sumber, sifat, tujuan, dan sanksi
yang berbeda.
Hukum terbagi
menjadi dua kelompok, yakni hukum perdata (hukum privat) adalah kelompok hukum
yang mengatur hak, harta benda dan hubungan seseorang yang satu dengan yang
lain dalam suatu negara yang menitik-beratkan pada kepentingan pribadi/privat.
Dan hukum publik (hukum umum) adalah hukum yang mengatur hubungan seseorang
sebagai warga negara dengan negara yang menitik-beratkan pada kepentingn umum. salah
satu dari kelompok hukum publik adalah hukum pidana yakni hukum yang mengenai
kejahatan dan pelanggaran (perbuatan kriminal) dengan sanksi. Perbuatan tindak
pidana dapat dikhususkan menjadi beberapa bidang salah satunya adalah delik
ekonomi.
Delik ekonomi adalah
perbuatan pidana ekonomi,[1]
dalam perbuatan ini terdapat peraturan perundangan yang khusus yakni
Undang-undang No. 7 tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam
Undang-undang ini menjelaskan tentang jenis kejahatan, proses persidangan,
sanksi yang mengatur tentang delik ekonomi. Penjelasan tersebut adalah ciri
kekhususan peraturan ini (lex special)
dari kitab Undang-undang hukum pidana sebagai hukum umum (lex generalis).
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapun yang menjadi masalah pokok dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kekhususan
tindak pidana ekonomi dibandingkan tindak pidana umum?
2. Bagaimanakah perbedaan
sanksi pidana dan sistem peradilan dalam tindak pidana ekonomi?
C. METODE
PENULISAN
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mencari bahan dari sumber-sumber buku
yang ada yang sesuai dan akurat dengan apa yang ada dalam penulisan makalah
ini. Sumber makalah adalah dari buku catatan kuliah yang disampaikan oleh dosen saat perkuliahan, buku-buku tentang tindak pidana ekonomi, serta penulis
menambah bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan permasalahan di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEKHUSUSAN TINDAK PIDANA EKONOMI DIBANDINGKAN TINDAK PIDANA
UMUM
1.
Adanya Perluasan Subjek Hukum Dalam Hukum Pidana
Ekonomi
Subjek adalah pelaksana atau pelaku yang terlibat dalam pelaksaan kegiatan,
dalam konteks ini kegiatan tersebut adalah perbuatan hukum. Subjek hukum dalam
pasal 2 - 9 KUHP diterapkan bagi bagi setiap orang yang melakukan delik di Indonesia
atau di luar wilayah Indonesia tetapi di dalam kapal atau pesawat Indonesia.
Subjek dalam dalam tindak pidana bidang ekonomi, dalam Pasal 15 (ayat 1-4)
UUTPE suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu
yayasan, maka dijatuhkan hukuman pidana maupun tata tertib pada perseroan,
perserikatan, maupun yayasan ataupun pada pada mereka yang memberikan perintah
tindak pidana ekonomi tersebut maupun yang menjadi pimpinan dalam perbuatan
atau kelalaian tersebut.[2]
Jika delik tersebut dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak itu
dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan
atau yayasan itu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri
melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak
pidana tersebut.
Apabila suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang
pengurus atau, jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari
mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain, Hakim dapat memerintahkan
supaya seorang pengurus menghadap sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan
supaya pengurus itu di bawa ke hadapan hakim. Tuntutan pidana dilakukan
terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau
suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan
surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat
tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor.[3]
Pasal 15 menetapkan, bahwa hukuman atau tindakan dapat dijatuhkan juga
terhadap badan-badan hukum, perseroan-perseroan, perserikatan-perserikatan dan
yayasan-yayasan. Dalam hukum pidana ekonomi aturan itu sangat dibutuhkan, oleh
karena banyak tindak pidana ekonomi dilakukan oleh badan-badan itu. Ilmu hukum
pidana modern telah mengakui ajaran, bahwa hukuman dapat diucapkan terhadap
suatu badan hukum. Ayat 1 pasal 15 menentukan, bahwa suatu tindak pidana
ekonomi dapat dilakukan oleh suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perserikatan atau suatu yayasan. Ayat 2 menentukan, dalam hal-hal mana suatu
tindak pidana ekonomi dianggap dilakukan oleh badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu.[4]
Tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, apabila tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh
seorang yang mempunyai suatu hubungan dengan badan itu, baik berdasar hubungan
kerja, maupun berdasar hubungan lain. Selanjutnya ditentukan, bahwa orang itu
harus bertindak "dalam lingkungan badan hukum itu". Anasir-anasir
tindak pidana ekonomi itu tidak usah berada pada satu orang, akan tetapi dapat
dibagi pada lebih dari satu orang yang bertindak. Misalnya seorang direktur
berniat melakukan suatu tindak pidana ekonomi, akan tetapi tindak pidana itu
secara materiil dilakukan oleh seorang bawahan (bandingkanlah pasal 55 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, suruh melakukan). Tuntutan pidana dilakukan
terhadap pengurus yang mewakili badan hukum, perseroan, perserikatan atau
yayasan itu. Jika pengurus itu tidak ditentukan dengan tegas, maka jaksa berhak
untuk menunjuk seorang dari mereka sebagai wakil. Wakil itu dapat diwakili oleh
orang lain, akan tetapi hakim berhak memerintahkan supaya seorang pengurus
menghadap sendiri.
2.
Adanya Peradilan Absentia Dalam Hukum Pidana Ekonomi
Pada pasal 77 – 80 KUHP menerangkan hapusnya penuntutan dikarenakan terdakwa
meninggal atau lewatnya batas waktu penuntutan, penuntutan pidana hapus
karena lewat waktu. Makanya dari pasal di atas sudah jelas bahwa ketika seorang
terdakwa dalam delik tersebut telah meninggal, atau waktu penuntutan delik
tersebut sudah lewat, maka proses peradilan pidana tersebut selesai atau hapus.
Dalam pasal 16 (ayat 1-6) menyebutkan bahwa:[5]
(1) Jika ada cukup alasan untuk
menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada
putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a.
memutus perampasan
barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang-undang darurat
ini berlaku sepadan;
b.
memutus bahwa
tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan
memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.
(2) Putusan itu
diumumkan oleh Panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat
kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Turunan dari putusan itu disampaikan
kepada rumah di mana orang itu meninggal dunia.
(3) Setiap orang yang
berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada panitera pengadilan atas
putusan itu dalam masa tiga bulan setelah pengumuman termaksud ayat 2.
(4) Dalam hal itu
jaksa didengar; pihak yang berkepentingan itu didengar juga, setidaktidaknya
dipanggil semestinya untuk menghadap.
(5) Putusan hakim
harus memuat alasan-alasan. Terhadap putusan itu tidak dapat dimintakan
bandingan atau kasasi.
(6) Ketentuan tersebut
dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku juga, jika
berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak pidana ekonomi itu
dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal. Putusan itu diumumkan dalam Berita
Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim.
Pada intinya pasal tersebut menerangkan bahwa ketika seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana ekonomi telah meninggal dunia, maka proses peradilan
tindak pidana ekonomi tersebut masih berjalan, hal tersebut menjadi ciri
kekhususan bahwa tindak pidana ekonomi adalah hukum khusus dari hukum
pidana.
3.
Percobaan dan Membantu Pelanggaran Dapat Dipidana Dalam
Hukum Pidana Ekonomi
Pasal 54 – 60 KUHP menerangkan bahwa mencoba dan membantu pelanggaran tidak
di pidana, dari pasal tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan
percobaan pelanggaran dan turut serta membantu pelanggaran maka seseorang
tersebut tidak termaksud sebagai pelaku dan atau pembuat delik, maka sesorang
tersebut tidak dapat dipidana.
Dalam pasal 4 UUTPE disebut jika dalam undang-undang
darurat ini disebut tindak pidana ekonomi pada umumnya atau suatu tindak pidana
ekonomi pada khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan pada atau
untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan untuk melakukan tindak pidana
itu, sekadar suatu ketentuan tidak menetapkan sebaliknya. Pasal ini menyimpang
dari pasal 54 dan 60 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini dianggap perlu
mengenai tindak pidana ekonomi yang dipandang pelanggaran. Maksimum hukuman
pokok yang mengancam pelanggaran ekonomi itu dikurangi dengan sepertiga, jika
dilakukan percobaan atau ikut membantu perbuatan itu.
4.
Perluasan Berlakunya Hukum Pidana
Pasal 2 KUHP ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia.
Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa peraturan
tersebut hanya berlaku bagi delik dalam wilayah Indonesia saja. Pasal 3 UUTPE
menegaskan: Barangsiapa turut melakukan suatu tindak pidana ekonomi, yang
dilakukan di dalam daerah hukum Republik Indonesia, dapat dihukum pidana;
begitu pula jika ia turut melakukan tindak pidana ekonomi itu di luar negeri.[6]
Sebagai perluasan Pasal 2 kitab Undang-undang Hukum Pidana
maka perbuatan ikut serta yang dilakukan di luar negeri dapat dihukum pidana
juga, dalam Undang-undang ini berlaku bagi setiap delik yang dilakukan di
wilayah hukum Indonesia, dan berlaku juga bagi seorang warga negara Indonesia
yang melakukan tindak pidana ekonomi di luar wilayah Indonesia.
5.
Adanya Penyelesaian di Luar Peradilan
Dalam pasal 82 KUHP
(ayat 1- 4) menjelaskan bahwa tindak pidana yang hukumannya hanya denda saja
menjadi hapus jika dengan sukarela maksimum dengan sukarela di bayar dengan
denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah di mulai.
Bila dikenai dengan perampasan maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan
pula, atau di bayar dengan taksiran harga.
6.
Penafsiran Kejahatan dan Pelanggaran Dalam Hukum Pidana
Ekonomi
Pasal 2 (1 - 3) UUTPE Tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal
1 sub 1 c adalah kejahatan atau pelanggaran, sekadar tindak itu menurut
ketentuan dalam undang-undang yang bersangkutan adalah kejahatan atau
pelanggaran. Tindak pidana ekonomi yang lainnya, yang tersebut dalam Pasal 1
sub 1 e adalah kejahatan, apabila tindak itu dilakukan dengan sengaja. Jika
tindak itu tidak dilakukan dengan sengaja, maka tindak itu adalah pelanggaran.
Tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 3e adalah
kejahatan, apabila tindak itu mengandung anasir sengaja; jika tindak itu tidak
mengandung anasir sengaja, tindak pidana itu adalah pelanggaran; satu dengan
lainnya, jika dengan undang-undang itu tidak ditentukan lain.
Pasal ini mengadakan perbedaan antara tindak pidana ekonomi
yang dianggap kejahatan dan tindak pidana ekonomi yang dianggap pelanggaran.
Mengadakan perbedaan ini perlu karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana
mengadakan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan akibat
antara kejahatan dan pelanggaran itu.
7.
Ketentuan Elastis dan Mudah Berubah Hukum Pidana Ekonomi
Tindak pidana bidang ekonomi biasanya menggunakan modus operandi yang sulit
di bedakan dengan modus operandi kegiatan ekonomi yang biasanya. Dari sulit dibedakan
tersebut, maka ketentuan mengenai hukum pidana bidang ekonomi elastis dan mudah
berubah penafsirannya.
Dalam Perbedaan antara istilah economic
crimes dan istilah economic
criminality Economic crimes menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yang
dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas) Economic criminality menunjuk kepada
kejahatan konvensional, yang mencari keuntungan yang bersifat ekonomis, misalnya
pencurian, penggelapan, pencopetan, perampokan, pemalsuan dan penipuan. Istilah
tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia dalam UU No. 7 drt 1855 lebih
condong ke dalam istilah economic crimes
dalam arti sempit. Sebab UU tersebut secara subtansil hanya memuat ketentuan
yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan (UU No. 7
drt 1955).
B. PERBEDAAN SANKSI PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DALAM TINDAK
PIDANA EKONOMI
1.
Perbedaan Sanksi Pidana
Pasal 10 – 43 KUHP menjelaskan tentang pidana
konvensional dalam hal ini terdapat 2 jenis pidana yakni terdiri dari pidana
pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
tutupan) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasn
barang-barang tertentu, dan putusan hakim).[7]
Dalam pasal 6 - 8 dan 27 UUTPE pidana non
konvensional. Pasal 6 menentukan hukuman dan tindakan tata tertib yang pada
umumnya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana ekonomi. Ayat 1 dan 2 mengatur
hukuman pidana pokok sedang dalam ayat 3 disebut hukuman tambahan dan tindakan
tata tertib yang perinciannya diatur dalam pasal-pasal yang berikut. Hukuman
pokok adalah sama dengan hukuman pokok yang disebut dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (pasal 10 KUHP) akan tetapi maksimum hukuman pokok itu adalah
lebih berat dari pada yang lazim dipergunakan. Adapun alasan-alasannya telah
diuraikan dalam penjelasan umum. Kemungkinan untuk menjatuhkan bersama-sama
hukuman kawalan dan hukuman denda adalah sesuai dengan pandangan beberapa
instansi yang bersangkutan, bahwa tindakan itu dalam banyak soal merupakan
suatu tindakan represi yang setepat-tepatnya.
Pasal 7 mengenai hukuman tambahan. Hukuman tambahan ini
dapat dijatuhkan, baik terhadap kejahatan, maupun terhadap pelanggaran. Hukuman
tambahan yang disebut pada a dikutip dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(pasal 35 KUHP). Hukuman tambahan yang disebut dalam b - penutupan perusahaan
si terhukum adalah suatu hukuman yang tepat bagi mereka yang berpendapat bahwa
melakukan suatu tindak pidana ekonomi adalah normal, sehingga jika mereka itu
tertangkap karena melakukan tindak pidana ekonomi hal itu pada hemat mereka itu
merupakan risiko perusahaan biasa, yang dapat diperhitungkan dalam perhitungannya.
Dalam dunia perusahaan adalah pengulang-pengulang (recidivisten) yang tidak akan berhenti
melakukan tindak pidana ekonomi sampai mereka tidak mampu lagi melakukan tindak
pidana ekonomi itu. Adalah kemungkinan, bahwa penutupan perusahaan itu tidak
rasional, misalnya apabila perusahaan itu adalah perusahaan yang mengambil
bagian yang penting sekali dalam proses produksi atau distribusi. Untuk
kemungkinan itu diadakan hukuman pengawasan atau pengampunan (Pasal 8 sub a).
Penutupan perusahaan ialah suatu hukuman. Penyerahan perusahaan yang ditutup
kepada orang lain, sehingga orang itu dapat melanjutkan perusahaan itu dengan
tak terganggu, menimbulkan suatu pelarian dari hukuman itu. Oleh sebab itu maka
penyerahan serupa itu dapat dihukum pidana berdasarkan pasal 32 dan penyerahan
itu adalah batal menurut pasal 34, ayat 1.
Hukuman perampasan (pasal 7 sub c dan d) adalah penting
sekali dalam peradilan tindak pidana ekonomi. Hukuman itu di samping sifat
hukuman, mempunyai tujuan besar untuk mengakhiri pelanggaran dan membawa
kembali barang-barang yang bersifat ekonomi dalam masyarakat. Titik berat
terutama terletak pada hal yang terakhir itu. Berhubung dengan itu maka hukuman
perampasan sebagai diuraikan dalam Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
diperluas dalam Undang-undang Darurat ini: perampasan dapat dilakukan pada
segala kejahatan ekonomi dan hampir segala pelanggaran ekonomi. Lagi pula
perampasan itu tidak dibatasi sampai "benda", yakni barang bergerak
yang berujud, akan tetapi dapat dilakukan juga terhadap barang tak bergerak dan
yang tak berujud, misalnya hisab bank. Untuk menghindarkan kemungkinan, bahwa
perampasan itu akan salah dipergunakan, maka ditentukan, bahwa perampasan itu
hanya dapat dilakukan setelah diperoleh persetujuan dari jaksa yang
bersangkutan (bandingkanlah pasal 18 ayat 2). Selanjutnya dianggap baik,
apabila perampasan dapat dilakukan juga terhadap barang yang bukan kepunyaan
atau milik si terhukum. Hal ini misalnya terjadi, jika tindak pidana ekonomi
itu dilakukan oleh seorang direktur dari suatu badan hukum, sedang barang yang
harus dirampas adalah barang dari badan hukum itu.
Dunia perniagaan amat tergantung atas surat-surat izin,
untuk dapat mengimpor dan mengekspor barang-barang tertentu perlu diperoleh
lisensi, untuk mendapat premi-premi tertentu orang harus melakukan
prestasi-prestasi tertentu. Hak-hak dan keuntungan-keuntungan itu diberikan
oleh Pemerintah. Jika suatu pemborong tidak mempergunakan kayu yang diperoleh
dengan lisensi dalam perusahaannya, akan tetapi menjual kayu itu di pasar gelap
dengan harga yang tinggi sekali, tentu pemborong tidak harus mendapat lisensi
yang baru.[8]
Pasal 8 menyebut tindakan-tindakan tata tertib yang dapat
diambil jika dilakukan sesuatu tindak pidana ekonomi. Dengan tegas dinyatakan,
bahwa tindakan tata tertib bukanlah tindakan tata tertib yang semata-mata dapat
diambil: Pasal 6 ayat 3 menentukan, bahwa pun tindakan tata tertib yang disebut
dalam peraturan-peraturan lain, dapat dilakukan. Dengan kata-kata lain: Pasal 8
adalah suatu tambahan, meskipun suatu tambahan yang penting sekali. Dalam a
disebut pengampuan perusahaan si terhukum. Pengampuan itu dapat dilakukan
terhadap suatu perusahaan dimana selalu dilakukan kecurangan-kecurangan atau di
mana peraturan-peraturan yang diadakan untuk membesarkan produktivitas
dilalaikan. Di samping itu ada hal-hal lain dimana tindakan ini dapat diambil.
Pasal 11 memberi hak kepada hakim untuk mengadakan tindakan-tindakan dan mengeluarkan
aturan-aturan sesuai dengan taraf keadaan perusahaan.
Dalam beberapa hal lebih baik
pengampuan itu harus ditafsirkan sebagai pengawasan. Keuntungan yang diperoleh
dari perusahaan itu dapat diberikan kepada si terhukum, akan tetapi kerugian
yang diderita harus dipikul oleh yang bersalah.
Dalam b disebut uang jaminan. Uang
jaminan itu hampir sama dengan hukuman denda. Perbedaan antara uang jaminan dan
hukuman denda ialah, bahwa hukuman denda yang mungkin dijatuhkan itu lebih
dahulu diserahkan kepada penuntut umum, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan
dengan pasti dan dengan segera (bandingkanlah lebih lanjut pasal 12). Dalam c
pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran, yang
diperoleh dari suatu tindak pidana atau dari tindak-tindak pidana semacam itu.
Tindakan itu diambil di samping hukuman pokok yang mungkin terdiri atas hukuman
denda. Dalam d disebut kewajiban untuk mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak atau meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak atas biaya si terhukum.
Tindakan itu telah dikenal dalam beberapa peraturan. Yang belum dikenal ialah
kewajiban melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat yang terjadi
karena suatu tindak pidana ekonomi dilakukan.[9]
Tindakan itu dapat menguntungkan baik Pemerintah maupun orang partikulir,
misalnya dalam hal kepada si pembeli harus dikembalikan harga yang diterima
oleh penjual lebih dari harga yang diizinkan menurut peraturan harga.
Pelaksanaan praktis dari tindakan tata tertib ini dapat diatur oleh hakim menurut
ketentuan pasal 10 ayat 1 dan 2.
Pasal 27 dan atas dasar yang sama juga pasal 28 sampai
dengan 30 - telah diuraikan dalam penjelasan umum. Maksudnya pasal-pasal itu
ialah, supaya gangguan dalam dunia perekonomian yang terjadi karena dilakukan
sesuatu tindak pidana ekonomi, dapat ditiadakan dengan segera, sedang reaksi
yang dengan segera dapat diadakan atas tindak pidana itu menimbulkan suatu
"preventieve werking" yang
kuat.
2.
Perbedaan Sistem Peradilan
Dalam Pasal 35 menyebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan
negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang Panitera atau
lebih, dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing
mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi. Dan pengadilan tersebut pada
ayat 1 disebut "Pengadilan Ekonomi."
Pasal 36 Seorang
hakim pada Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan pada lebih dari satu
Pengadilan Ekonomi. Pasal 37 Pengadilan Ekonomi dapat bersidang juga di luar
tempat kedudukan Pengadilan Negeri. Pasal 38 Ketentuan dalam pasal 36 berlaku
sepadan bagi jaksa dan panitera Pengadilan Ekonomi. Pasal 39 menjelaskan bahwa:
(1) Jika beberapa tindak pidana ekonomi dilakukan
oleh lebih dari satu orang, baik bersama-sama maupun masing-masing
sendiri-sendiri, dan tindak-tindak pidana itu satu sama lain berhubungan
sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu, bahwa tindak-tindak pidana itu
diadili oleh satu Pengadilan Ekonomi, maka kekuasaan Pengadilan itu terhadap
seorang orang yang disebut tersangka atau pengikut serta, akan mengakibatkan, bahwa
Pengadilan itu juga berkuasa mengadili orang-orang lain yang menjadi tersangka
atau pengikut serta dalam perkara itu.
(2) Jika si tersangka adalah suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka yang
berkuasa ialah Pengadilan di tempat, di mana badan hukum, perseroan,
perserikatan orang atau yayasan itu berkedudukan atau mempunyai kantornya.
Pasal 40 Sekadar undang-undang darurat ini tidak menentukan
lain, maka Pengadilan Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi berpedoman
kepada hukum acara pidana yang berlaku bagi pengadilan negeri.
Pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang Hakim atau
lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing
mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi (eenmansrechts-spraak). Pengadilan itu disebut Pengadilan Ekonomi
(pasal 35). Sedapat mungkin ditunjuk sebagai hakim dan jaksa penjabat yang ahli
dalam soal-soal perekonomian. Dengan menugaskan perkara pidana ekonomi kepada Jaksa
dan Hakim yang melulu diberi tugas menyelesaikan perkara pidana itu, maka
Pemerintah mengharap, bahwa mereka, dibantu oleh badan-badan dan
pegawai-pegawai penghubung yang dianggap ahli dalam perekonomian, yang
diwajibkan memberikan bantuannya kepada Hakim, Pegawai Penuntut dan Pengusut,
baik di luar maupun di dalam persidangan (pasal 49), pula dibantu oleh
pegawai-pegawai pengusut istimewa (pasal 17) dengan hak-hak istimewa
(pasal-pasal 18 dan selanjutnya), akan melakukan kewajibannya dengan
sebaik-baiknya.[10]
Berhubung dengan sangat kurangnya tenaga-tenaga hakim dan
jaksa, maka diadakan kemungkinan untuk mempekerjakan seorang hakim dan jaksa
pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi (pasal 36 dan pasal 38). Untuk
mempercepat dan mempermudah mengadili beberapa perkara pidana ekonomi yang
dilakukan oleh lebih dari satu orang, baik bersama-sama maupun masing
sendirisendiri yang ada hubungannya satu dengan yang lain, maka diadakan
kemungkinan untuk mengadili perkara-
perkara itu oleh satu Pengadilan Ekonomi (pasal 39). Dalam tingkat
pertama maka Pengadilan Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi
berpedoman kepada hukum acara pidana yang berlaku bagi Pengadilan Negeri
sekedar Undang-undang Darurat ini tidak menentukan lain (pasal 40).
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa dalam perbuatan tindak pidana
ekonomi berbeda dengan tindak pidana biasa, perbedaan tersebut diantaranya
adalah adanya perluasan subjek hukum dalam hukum pidana ekonomi, adanya
peradilan absentia dalam hukum pidana ekonomi, percobaan dan membantu
pelanggaran dapat dipidana dalam hukum pidana ekonomi, penafsiran kejahatan dan
pelanggaran dalam hukum pidana ekonomi, perluasan berlakunya hukum pidana,
ketentuan elastis dan mudah berubah hukum pidana ekonomi.
Dari beberapa ciri kekhusasan tersebut menjelaskan bahwa tindak pidana
bidang ekonomi merupakan hukum khusus dari hukum pidana. Dari berbagai kasus
dan referensi yang penulis dapat dari media online dan internet, pelaku dari
tindak pidana bidang ekonomi merupakan penjahat berkerah putih, yang merupakan
para pelaku usaha yang sukses yang ahli di bidangnya, dan perbuatan tersebut
cenderung tak berbeda dengan perbuatan ekonomi biasanya.
Untuk mengungkapkan kasus tindak pidana bidang ekonomi, dibutuhkan para
penegak hukum yang ahli dalam ranah ekonomi, para penegak hukum tersebut mulai
dari penyelidikan dan penyidikan yakni pihak kepolisian atau pegawai negeri
yang ditunjuk oleh Undang-undang, penuntutan yakni pihak kejaksaan, dan dalam
mengadili dari para hakim di pengadilan. Keseluruhan alat negara tersebut harus
saling bersinergi dan bekerjasama guna mengungkapkan kegiatan-kegiatan tindak
pidana ekonomi.
B.
SARAN
Perbuatan tindak
pidana ekonomi merupakan tindak pidana yang khusus, dalam mengungkapkannya
memerlukan para penegak hukum yang merupakan alat kelengkapan negara yang
memiliki pemahaman, integritas dan loyalitas yang yang tinggi pada pekerjaan dan
negara. Mengapa demikian? karena dalam tindak pidana ekonomi merupakan lahan
basah yang kebanyakan pelaku delik tersebt merupakan para pelaku ekonomi yang
sukses dan ahli di bidangnya, yang cenderung dapat melakukan berbagai cara
untuk mencapai keinginan yang dia kehendaki.
Peran dari para
penegak hukum menjadi ujung tombak kekuatan hukum di Indonesia, khususnya di
bidang ekonomi yang menjadi lahan yang sangat sensitif terhadap bagi intervensi
negara. kegiatan Ekonomi merupakan rutinitas semua orang, karena itupun sagala
akibat yang terjadi oleh perbuatan itu baik yang positif maupun negatif merupakan
tanggung jawab bersama dan khususya pemerintah agar menciptakan kenyamanan dan
keadilan bagi warga negaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Widiantoro, 2013. Tindak
Pidana Bidang Ekonomi, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta
Hamzah, Andi,1983. Undang-undang No.
8 Tahun 1982 Tentang Hukum Acara
Pidana. PT. Asdi Mahasatya,
Jakarta 2011.
Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955
Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
http://www.transparansi.or.id Ancaman Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Ekonomi. Diakses pada tanggal 18 April 2016.
http://www.transparansi.or.id Hukum Pidana Ekonomi: Kejahatan Bidang Ekonomi. Diakses pada tanggal 19 April 2016.
[2] http://www.transparansi.or.id Ancaman Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Ekonomi, diakses pada tanggal 18 April 2016 Pukul
21.35 WIB
[3] Ibid.
[5] Ibid, Hal. 96
[6] Hamzah, Andi,1983. Undang-undang No. 8
Tahun 1982 Tentang Hukum Pidana. PT. Asdi Mahasatya, Jakarta 2011
[8] http://www.transparansi.or.id Ancaman
Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Ekonomi. Diakses pada tanggal 18 April 2016, Pukul
21.48 WIB
[9] http://www.transparansi.or.id Hukum Pidana Ekonomi: Kejahatan Bidang Ekonomi. Diakses pada tanggal 19 April
2016, Pukul. 16.17 WIB
[10] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar