BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembaharuan Hukum Pidana saat ini sedang dilakukan oleh negara
Indonesia, pembaharuan hukum bertujuan untuk membentuk hukum pidana Indonesia
yang lebih baik dari hukum pidana yang telah ada. Salah satu cara untuk
memperoleh hukum pidana yang lebih baik adalah dengan memperbandingkan hukum
pidana Indonesia dengan negara lain untuk memperoleh suatu kesimpulan hukum
yang lebih baik untuk hukum pidana Indonesia. Seain itu manfaat
memperbandingkan hukum pidana kita dengan hukum pidana dari negara lain
antara lain dapat menambah pemahaman kita mengenai kelebihan dan kelemahan dari
dari hukum pidana kita, sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum pidana yang
berlaku dewasa ini adalah warisan dari penjajahan Belanda dan resminya
berbahasa Belanda. Sekalipun sudah ditambal-sulam di sana-sini, namun masih
perlu pembaharuan.
Dalam ilmu hukum pidana lazim dikenal tiga sistem hukum
pidana di dunia yang paling mengemuka, yaitu :
1. Sistem Eropa Kontinental
2. Sistem Anglo Saxon dan
3. Sistem negara-negara sosial.
Dalam makalah ini, penyusun membandingkan tindak pidana Perbarengan
dan Pengulangan antara Sistem Hukum Indonesia dengan Sistem Hukum Korea yang
sama-sama menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapun yang menjadi
pokok permasalahan dalam makalah ini adalah :
a. Bagaimana teori hukum tentang tindak pidana perbarengan dan
pengulangan?
b. Bagaimana
perbandingan tentang pengaturan tindak pidana penyertaan dalam hukum pidana
positif antara Indonesia dengan Korea?
BAB II
PERBARENGAN DAN PENGULANGAN
A. PERBARENGAN
TINDAK PIDANA
Yang dimaksud dengan perbarengan tindak pidana adalah
terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana
yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana
yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan
hakim.[1]
Ada tiga bentuk perbarengan yang dianut dalam KUHP Indonesia, yaitu :
1. Concursus
Idealis (Pasal 63 KUHP)
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana.
Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan (eendaadsche samenloop), yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari
satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam
concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok
yang terberat. Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan:
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu
aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan
itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
2) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan.
Berdasarkan
rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang
perbuatan (feit). Prof. Mr.
Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP
sebagai berikut:
“Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum
pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang
yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan
hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain.”
Hoge Raad
menyatakan pendapatnya mengenai concursus
idealis, yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal
yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman
hukumannya terberat.[2]
Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan.
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam
dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan,
dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar
kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat
yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS
ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat.
Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok
yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis
pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya
dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex
specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus
meniadakan aturan yang umum).[3]
Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia
dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15
tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak
pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag),
maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana
diatur dalam pasal 341.[4]
2. Concursus Berlanjut ( Pasal 64 KUHP )
Perbuatan
berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan
atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.[5]
Dalam MvT (Memorie van Toelichting),
kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:
- Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan.
- Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya.
- Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.[6]
Sistem
pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu
hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka
dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.[7]
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan
mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal
kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan),
373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
3. Concursus
Realis ( Pasal 65 –
71 KUHP )
Pengertian concursus realis adalah seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan
masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu tindak pidana (tidak
perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam:[8]
1.
Absorsi dipertajam
Absorsi dipertajam adalah apabila diancam dengan
pidana pokok sejenis maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa
jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari jumlah maksimum terberat ditambah
sepertiga.
2.
Kumulatif diperlunak
Apabila diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis
maka setiap pidana pokok akan dikenakan dengan ketentuan jumlahnya tidak boleh
melebihi jumlah pidana pokok terberat ditambah sepertiga. Apabila concursus realis berupa pelanggaran,
maka menggunakan sistem hukum kumulitf (Jumlah), Jumlah semua pidana yang
diancamkan. Maksimum 1 tahun 4 bulan, Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan, maka digunakan
sistem pemberian pidana kumulatif, maksimum pidana penjara 8 bulan.
B. PENGULANGAN
TINDAK PIDANA
Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) terjadi dalam
hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan
suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde),
kemudian melakukan tindak pidana lagi.[9]
Sama seperti dalam concursus realis, dalam recidive terjadi
beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap. Recidive
merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai contoh, seperti
yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana
penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara
maksimum dijatuhkan selama 15 tahun. Recidive
tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur
secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa
kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive
khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis
tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.[10]
KUHP membedakan recidive kejahatan ini menjadi dua
kelompok besar, yaitu:
a.
Recidive kejahatan kelompok
sejenis, yang tersebar dalam 11 pasal kejahatan KUHP, yaitu Pasal 137 (2),
144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216
(2), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2).
Syaratnya secara
umum adalah:
1)
Kejahatan yang diulangi harus
sama/sejenis
2)
Antara kejahatan yang terdahulu dengan
kejahatan yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap.
3)
Pelaku melakukan kejahatan pada waktu
menjalankan pencaharian, kecuali Pasal 216, 303 bis dan 393; dan
4)
Pengulangan tindak pidana dalam
tenggang waktu tertentu, yaitu:
a)
2 tahun sejak adanya putusan
hakim yang tetap (Pasal 137, 144, 208, 216,303 bis, dan 321); dan
b)
5 tahun sejak adanya putusan hakim yang
tetap (Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan dalam recidive kejahatan sejenis ini, juga
tampak berbeda-beda, yaitu:
1. Pidana
tambahan berupa pencabutan hak menjalankan pencahariannya;
2. Pidana
pokok ditambah 1/3.
3. Pidana
penjara dikalikan 2 X (berlaku khusus Pasal 393)
b. Recidive kejahatan kelompok jenis
Recidive kejahatan kelompk
jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 489 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut
dimasukkan beberapa kejahatan yang masuk kelompok jenis, yaitu:
1. Pasal 486 tentang kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan yang terdiri
atas: Pasal 244-248 (pemalsuan mata uang); Pasal 263-264 (pemalsuan surat);
Pasal 362,363,365 (pencurian); Pasal 368 (pemerasan); Pasal 369
(pengancaman); Pasal 372,374,375 (penggelapan); Pasal 378 (penipuan); Pasal
415,417,425,432 (kejahatan jabatan); Pasal 480,481 (penadahan).
2. Pasal 487 tentang kejahatan terhadap orang yang terdiri atas: Pasal
131,140,141 (penyerangan dan makar kepada Kepala Negara); Pasal 338,339,340
(pembunuhan); Pasal 341,342 (pembunuhan anak); Pasal 344 (euthanasia);
Pasal 347-348 (abortus); Pasal 351,353,354,355 (penganiayaan); Pasal 438-443
(kejahatan pembajakan pelayaran); Pasal 459-460 (insubordinasi).
3.
Pasal 488 tentang kejahatan penghinaan
dan yang berhubungan dengan penerbit/percetakan, yakni: Pasal 134-137
(penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden); Pasal 142-144 (penghinaan kepada
Kepala Negara sahabat); Pasal 207-208 (penghinaan kepada penguasa badan umum);
Pasal 310-321 (penghinaan kepada orang pada umumnya); dan Pasal 483,484 (kejahatan
penerbit/percetakan).
c. Residive Pelanggaran
Recidive Pelanggaran Sama seperti recidive
kejahatan, recidive pelanggaran dalam KUHP menganut sistem recidive khusus,
dalam arti bahwa hanya pelanggaran- pelanggaran tertentu saja yang dapat
dijadikan recidive.[11]
Terdapat 14 jenis pelanggaran dalam KUHP yang jika
dilakukan dipidana sebagai recidive,
yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545,
dan 549.
Persyaratan recidive
pelanggaran yang diatur dalam masing-masing pasal adalah:
1. Pelanggaran yang diulangi harus sama
atau sejenis. Khusus Pasal 492, dapat merupakan alasan recidive untuk
pelanggaran Pasal 536 dan sebaliknya. Pasal 302 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 540 dan
541.
2. Antara pelanggaran yang terdahulu dengan pelanggaran yang diulangi harus
telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
BAB III
PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERBARENGAN DAN
TINDAK PIDANA PENGULANGAN ANTARA
INDONESIA DENGAN KOREA
A. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Korea Dalam Hal Perbarengan
1. Pengaturan
Menurut sistematika KUHP perbarengan
diatur dalam Bab VI Buku I (Ketentuan Umum), sedangkan pengulangan ada yang
diatur dalam Buku II (pasal 486 sampai dengan 488) dan ada pula yang diatur
pada tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut sistematika KUHP Korea, Perbarengan
diatur dalam Buku I Bagian II seksi V (perbarengan tindak pidana) pasal 37
sampai dengan 40. Selain daripada itu ada juga yang diatur tersendiri dalam
Pasal 19. Pengulangan diatur dalam Buku I Bagian II seksi IV (pengulangan
tindak pidana) pasal 35 sampai dengan 36.[12]
Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa Perbarengan baik menurut KUHP maupun
KUHP Korea merupakan ketentuan umum.
2. Bentuk Perbarengan
Baik bangunan perbarengan-tindakan,
maupun perbarengan-ancaman-pidana sama-sama dianut oleh KUHP dan KUHP Korea. Perbarengan
tindakan yang berupa:
1) Perbarengan
tindakan tunggal (concursus idealis)
2) Perbarengan
tindakan jamak (concursus realis)
3) Perbarengan
berupa tindakan berlanjut.[13]
Berturut-turut tercantum dalam Pasal
40, 37, dan 19 KUHP Korea perbarengan ancaman pidana sebagai kelanjutan dari
adanya perbarengan tindak-pidana diatur dengan suatu system atau stelsel untuk penerapannya.
Sistem yang digunakan oleh KUHP dan Korea tersebut ialah:
a) Sistem
penyerapan (sistem absorsi)
b) Sistem
penjumlahan (sistem kumulasi)
c) Sistem antara.[14]
Hanya bervariasi caranya sehubungan
dengan perbedaan jenis/macam ancaman pidana yang dugunakan oleh KUHP dan KUHP
Korea.
3. Delik Tertinggal
Yang diatur dalam Pasal 71 KUHP
mengenai delik tertinggal dianut pula dalam CC sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 39 ayat (1). Dengan demikian kedua-duanya sama-sama memperhitungkan
pidana yang sudah dijatuhkan kepada tindak pidana yang tertinggal yang akan
diadili, seolah-olah perkara tersebut bersamaan diadili.
B. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Korea Dalam Hal Pengulangan
1. Jenis-jenis
Pengulangan
Secara umum ada dua jenis pengulangan
yang dikenal dalam hukum pidana yaitu:
1) Pengulangan umum (tidak dipersoalkan jenis/macam tindak pidana yang
diulangi)
2)
Pengulangan khusus (tindak pidana yang
diulangi itu sejenis atau sama).
Dari kedua jenis pengulangan tersebut
yang dianut KUHP adalah jenis yang kedua (pengulangan khusus), karena dalam
Pasal 486 sampai dengan 488 dikelompokkan jenis-jenis tindak pidana yang
dipandang sejenis yang dimasukkan dalam kategori pengulangan apabila dilakukan
dalam tenggang waktu lima (5) tahun. Yang dianut oleh KUHP Korea adalah
pengulangan umum, karena diatur dalam ketentuan umum dan tidak dipersoalkan
tentang tindak pidana yang terjadi apakah sejenis atau tidak (Pasal 35 ayat 1).[15]
2. Jangka
waktu Pengulangan (Residive)
Jangka waktu pengulangan yang dicantumkan
dalam KUHP tidak seragam. Ada yang lima tahun (pasal 486 sampai dengan 488,
pasal 155, 157 dan sebagainya), dua tahun (Pasal 137, 144, dan lain-lain), ada
pula yang hanya satu tahun (pasal 489, 492, 495, 536, 544 dan lain-lain).
Jangka waktu pengulangan menurut KUHP
Korea adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana, tanpa membeda-bedakan yang satu
dengan yang lain.[16]
3. Ketentuan
Pidana Pengulangan
Dalam KUHP pada umumnya pemidanaan
pengulangan adalah pidana pokok ditambah sepertiga, akan tetapi dalam
pasal-pasal tertentu bukan pidana pokok yang ditambah melainkan dapatnya pidana
tambahan tertentu dijatuhkan.
Dalam KUHP Korea, pidananya
didua-kalikan. Rupanya di Korea, masalah residive
ini dipandang lebih membahayakan kepentingan umum ketimbang concursus. Hal ini dapat diterima akal,
karena seseorang itu sudah pernah dipidana karena tindak pidana yang sejenis
tetapi tidak jera. Tentunya dalam hal ini harus pula diperhitungkan masalah
sosial ekonomi dan masalah-masalah politik.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Dalam hal perbarengan antara hukum
pidana yang dianut oleh Indonesia dengan Korea terdapat kesamaan, dimana
perbarengan menurut KUHP Indonesia Dan Korea sama-sama diatur di daam Ketentuan
Umum. Selain itu Negara Indonesia dan Korea juga sama-sama menganut tiga jenis
pengulangan (Concursus), yaitu: Concursus Idealis, Concursus Realis, dan Perbarengan Berupa Tindak Lanjut.
2.
Dalam Hal Pengulangan antara hukum
pidana yang dianut oleh Indonesia dengan Korea terdapat perbedaan, dimana Indonesia
menganut pengulangan khusus dan Korea menganut pengulangan umum. Selain itu
jangka waktu pengulangan yang tidak seragam di Indonesia karena ada yang ada
yang lima tahun (pasal 486 sampai dengan 488, pasal 155, 157 dan sebagainya),
dua tahun (Pasal 137, 144, dan lain-lain), ada pula yang hanya satu tahun
(pasal 489, 492, 495, 536, 544 dan lain-lain). Sedangkan jangka waktu
pengulangan menurut KUHP Korea adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana,
tanpa membeda-bedakan yang satu dengan yang lain. Dan dalam hal pemidanaan
Indonesia menganut pidana pokok ditambah sepertiga sedangkan untuk Korea pidananya
di dua kalikan.
B. SARAN
Karena Indonesia sedang dalam tahap
pembaharuan hukum pidana, maka untuk memperoleh hukum yang lebih baik Indonesia
dapat mencontoh hukum pidana Korea dalam hal Pengulangan. Karena fenomena yang
terjadi di Indonesia tingkat pengulangan tindak pidana (residive) masih sangat
tinggi karena hukuman yang diberikan masih terlalu ringan sehingga tidak
menimbukan efek jera kepada pelaku. Sedangkan di Korea pidana untuk pengulangan
di dua kalikan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan untuk tidak
mengulangi perbuatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2001, Pembelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Andi Hamzah, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta
Barda Namawi Arief, 2003, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Daliyo, 2001. Pengatar Hukum Indonesia. Prenhallindo. Jakarta
Martiman Prodjohamidjojo, 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Pradnya Paramita, Jakarta
Moeljatno, 2008. Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta
M. Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalahandan Penerapan KUHAP
Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta
Roeslan Saleh, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru,
Jakarta
Romli Atmasasmita, 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju,
Bandung
[1]
Roeslan Saleh, 1983. Perbuatan
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, Hal. 117
[3]
Ibid,
Hal. 94
[6]
Martiman Prodjohamidjojo, 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta, Hal. 218
[7]
Op.Cit, Hal. 59
[8]
M. Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalahandan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka
Kartini, Jakarta, Hal. 135
[10]
Ibid,
Hal. 171
[11]
Ibid,
Hal. 173
[13]
Ibid,
Hal. 172
[15]
Ibid,
Hal. 85
[16]
Ibid,
Hal. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar