بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selasa, 03 Mei 2016

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN KOREA DALAM HAL PERBARENGAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pembaharuan Hukum Pidana saat ini sedang dilakukan oleh negara Indonesia, pembaharuan hukum bertujuan untuk membentuk hukum pidana Indonesia yang lebih baik dari hukum pidana yang telah ada. Salah satu cara untuk memperoleh hukum pidana yang lebih baik adalah dengan memperbandingkan hukum pidana Indonesia dengan negara lain untuk memperoleh suatu kesimpulan hukum yang lebih baik untuk hukum pidana Indonesia. Seain itu  manfaat memperbandingkan  hukum pidana kita dengan hukum pidana dari negara lain antara lain dapat menambah pemahaman kita mengenai kelebihan dan kelemahan dari dari hukum pidana kita, sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum pidana yang berlaku dewasa ini adalah warisan dari penjajahan Belanda dan resminya berbahasa Belanda. Sekalipun sudah ditambal-sulam di sana-sini, namun masih perlu pembaharuan.
Dalam ilmu hukum pidana lazim dikenal tiga sistem hukum pidana di dunia yang paling mengemuka, yaitu :
 1.  Sistem Eropa Kontinental
 2.  Sistem Anglo Saxon dan
 3.  Sistem negara-negara sosial.
Dalam makalah ini, penyusun membandingkan tindak pidana Perbarengan dan Pengulangan antara Sistem Hukum Indonesia dengan Sistem Hukum Korea yang sama-sama menganut sistem hukum Eropa Kontinental.

B.  RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah :
a.   Bagaimana teori hukum  tentang tindak pidana perbarengan dan pengulangan?
b.   Bagaimana perbandingan tentang pengaturan tindak pidana penyertaan dalam hukum pidana positif antara Indonesia dengan Korea?
BAB II
PERBARENGAN DAN PENGULANGAN

A.  PERBARENGAN TINDAK PIDANA
Yang dimaksud dengan perbarengan tindak pidana adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.[1] Ada tiga bentuk perbarengan yang dianut dalam KUHP Indonesia, yaitu :
1.   Concursus Idealis  (Pasal 63  KUHP)
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan (eendaadsche samenloop), yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Dalam KUHP bab  II  Pasal  63 tentang perbarengan peraturan disebutkan:
1)      Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2)      Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan (feit). Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut:
“Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain.”
 Hoge Raad menyatakan pendapatnya mengenai concursus idealis, yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya terberat.[2] Hal tersebut dimaksudkan  guna  memenuhi  rasa keadilan. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP. 
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum).[3] Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag), maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana diatur dalam pasal 341.[4]
 2.   Concursus Berlanjut ( Pasal 64 KUHP )
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.[5] Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:
 Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan.
 Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya.
 Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.[6]
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.[7] Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
3.   Concursus Realis ( Pasal 65 – 71 KUHP )
Pengertian concursus realis adalah seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam:[8]
1.      Absorsi dipertajam
Absorsi dipertajam adalah  apabila diancam dengan pidana pokok sejenis maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari jumlah maksimum terberat ditambah sepertiga.
2.      Kumulatif diperlunak
Apabila diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka setiap pidana pokok akan dikenakan dengan ketentuan jumlahnya tidak boleh melebihi jumlah pidana pokok terberat ditambah sepertiga. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem hukum kumulitf (Jumlah), Jumlah semua pidana yang diancamkan. Maksimum 1 tahun 4 bulan, Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan, maka digunakan sistem pemberian pidana kumulatif, maksimum pidana penjara 8 bulan.

B.  PENGULANGAN TINDAK PIDANA
Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.[9] Sama seperti dalam concursus realis, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun. Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.[10]
KUHP membedakan recidive kejahatan ini menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a.       Recidive kejahatan kelompok sejenis, yang tersebar dalam 11 pasal kejahatan KUHP, yaitu Pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216      (2), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2).
Syaratnya secara umum adalah:
1)      Kejahatan yang diulangi harus sama/sejenis
2)      Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
3)      Pelaku melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencaharian, kecuali Pasal 216, 303 bis dan 393; dan
4)      Pengulangan tindak pidana dalam tenggang waktu tertentu, yaitu:
a)      2  tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap (Pasal 137, 144, 208, 216,303 bis, dan 321); dan
b)      5 tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap  (Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan dalam recidive kejahatan sejenis ini, juga tampak berbeda-beda, yaitu:
1.   Pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan pencahariannya;
2.   Pidana pokok ditambah 1/3.
3.   Pidana penjara dikalikan 2 X (berlaku khusus Pasal 393)
b.   Recidive kejahatan kelompok jenis
Recidive kejahatan kelompk jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 489 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dimasukkan beberapa kejahatan yang masuk kelompok jenis, yaitu:
1.      Pasal 486 tentang kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan yang terdiri atas: Pasal 244-248 (pemalsuan mata uang); Pasal 263-264 (pemalsuan surat); Pasal 362,363,365 (pencurian); Pasal 368 (pemerasan);  Pasal 369 (pengancaman);  Pasal 372,374,375 (penggelapan); Pasal 378 (penipuan); Pasal 415,417,425,432 (kejahatan jabatan); Pasal 480,481 (penadahan).
2.      Pasal 487 tentang kejahatan terhadap orang yang terdiri atas: Pasal 131,140,141 (penyerangan dan makar kepada Kepala Negara); Pasal 338,339,340 (pembunuhan); Pasal 341,342 (pembunuhan anak);  Pasal 344 (euthanasia); Pasal 347-348 (abortus); Pasal 351,353,354,355 (penganiayaan); Pasal 438-443 (kejahatan pembajakan pelayaran); Pasal 459-460 (insubordinasi).
3.      Pasal 488 tentang kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbit/percetakan, yakni: Pasal 134-137 (penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden); Pasal 142-144 (penghinaan kepada Kepala Negara sahabat); Pasal 207-208 (penghinaan kepada penguasa badan umum); Pasal 310-321 (penghinaan kepada orang pada umumnya); dan Pasal 483,484 (kejahatan penerbit/percetakan).
c.    Residive Pelanggaran
Recidive Pelanggaran Sama seperti recidive kejahatan, recidive pelanggaran dalam KUHP menganut sistem recidive khusus, dalam arti bahwa hanya pelanggaran- pelanggaran tertentu saja yang dapat dijadikan recidive.[11]
Terdapat 14 jenis pelanggaran dalam KUHP yang jika dilakukan dipidana sebagai recidive, yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Persyaratan recidive pelanggaran yang diatur dalam masing-masing pasal adalah:
1.    Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis. Khusus Pasal 492, dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 536 dan sebaliknya. Pasal 302 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 540 dan 541.
2.   Antara pelanggaran yang terdahulu dengan pelanggaran yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

BAB III
PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERBARENGAN DAN
TINDAK PIDANA PENGULANGAN ANTARA
INDONESIA DENGAN KOREA

A.    Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Korea Dalam Hal Perbarengan
1.   Pengaturan
Menurut sistematika KUHP perbarengan diatur dalam Bab VI Buku I (Ketentuan Umum), sedangkan pengulangan ada yang diatur dalam Buku II (pasal 486 sampai dengan 488) dan ada pula yang diatur pada tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut sistematika KUHP Korea,  Perbarengan diatur dalam Buku I Bagian II seksi V (perbarengan tindak pidana) pasal 37 sampai dengan 40. Selain daripada itu ada juga yang diatur tersendiri dalam Pasal 19. Pengulangan diatur dalam Buku I Bagian II seksi IV (pengulangan tindak pidana) pasal 35 sampai dengan 36.[12] Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa Perbarengan baik menurut KUHP maupun KUHP Korea merupakan ketentuan umum.
2.   Bentuk Perbarengan
Baik bangunan perbarengan-tindakan, maupun perbarengan-ancaman-pidana sama-sama dianut oleh KUHP dan KUHP Korea. Perbarengan tindakan yang berupa:
1)  Perbarengan tindakan tunggal (concursus idealis)
2)  Perbarengan tindakan jamak (concursus realis)
3)  Perbarengan berupa tindakan berlanjut.[13]
Berturut-turut tercantum dalam Pasal 40, 37, dan 19 KUHP Korea perbarengan ancaman pidana sebagai kelanjutan dari adanya perbarengan tindak-pidana diatur dengan suatu system atau stelsel untuk penerapannya. Sistem yang digunakan oleh KUHP dan Korea tersebut ialah:
a)  Sistem penyerapan (sistem absorsi)
b)  Sistem penjumlahan (sistem kumulasi)
c)  Sistem antara.[14]
Hanya bervariasi caranya sehubungan dengan perbedaan jenis/macam ancaman pidana yang dugunakan oleh KUHP dan KUHP Korea.
3.   Delik Tertinggal
Yang diatur dalam Pasal 71 KUHP mengenai delik tertinggal dianut pula dalam CC sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 39 ayat (1). Dengan demikian kedua-duanya sama-sama memperhitungkan pidana yang sudah dijatuhkan kepada tindak pidana yang tertinggal yang akan diadili, seolah-olah perkara tersebut bersamaan diadili.

B.     Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Korea Dalam Hal Pengulangan
1.   Jenis-jenis Pengulangan
Secara umum ada dua jenis pengulangan yang dikenal dalam hukum pidana yaitu:
1)      Pengulangan umum (tidak dipersoalkan jenis/macam tindak pidana yang diulangi)
2)      Pengulangan khusus (tindak pidana yang diulangi itu sejenis atau sama).
Dari kedua jenis pengulangan tersebut yang dianut KUHP adalah jenis yang kedua (pengulangan khusus), karena dalam Pasal 486 sampai dengan 488 dikelompokkan jenis-jenis tindak pidana yang dipandang sejenis yang dimasukkan dalam kategori pengulangan apabila dilakukan dalam tenggang waktu lima (5) tahun. Yang dianut oleh KUHP Korea  adalah pengulangan umum, karena diatur dalam ketentuan umum dan tidak dipersoalkan tentang tindak pidana yang terjadi apakah sejenis atau tidak (Pasal 35 ayat 1).[15]
2.   Jangka waktu Pengulangan (Residive)
Jangka waktu pengulangan yang dicantumkan dalam KUHP tidak seragam. Ada yang lima tahun (pasal 486 sampai dengan 488, pasal 155, 157 dan sebagainya), dua tahun (Pasal 137, 144, dan lain-lain), ada pula yang hanya satu tahun (pasal 489, 492, 495, 536, 544 dan lain-lain).
Jangka waktu pengulangan menurut KUHP Korea adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana, tanpa membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.[16]
3.   Ketentuan Pidana Pengulangan
Dalam KUHP pada umumnya pemidanaan pengulangan adalah pidana pokok ditambah sepertiga, akan tetapi dalam pasal-pasal tertentu bukan pidana pokok yang ditambah melainkan dapatnya pidana tambahan tertentu dijatuhkan.
Dalam KUHP Korea, pidananya didua-kalikan. Rupanya di Korea, masalah residive ini dipandang lebih membahayakan kepentingan umum ketimbang concursus. Hal ini dapat diterima akal, karena seseorang itu sudah pernah dipidana karena tindak pidana yang sejenis tetapi tidak jera. Tentunya dalam hal ini harus pula diperhitungkan masalah sosial ekonomi dan masalah-masalah politik.

 
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Dalam hal perbarengan antara hukum pidana yang dianut oleh Indonesia dengan Korea terdapat kesamaan, dimana perbarengan menurut KUHP Indonesia Dan Korea sama-sama diatur di daam Ketentuan Umum. Selain itu Negara Indonesia dan Korea juga sama-sama menganut tiga jenis pengulangan (Concursus), yaitu: Concursus Idealis, Concursus Realis, dan Perbarengan Berupa Tindak Lanjut.
2.      Dalam Hal Pengulangan antara hukum pidana yang dianut oleh Indonesia dengan Korea terdapat perbedaan, dimana Indonesia menganut pengulangan khusus dan Korea menganut pengulangan umum. Selain itu jangka waktu pengulangan yang tidak seragam di Indonesia karena ada yang ada yang lima tahun (pasal 486 sampai dengan 488, pasal 155, 157 dan sebagainya), dua tahun (Pasal 137, 144, dan lain-lain), ada pula yang hanya satu tahun (pasal 489, 492, 495, 536, 544 dan lain-lain). Sedangkan jangka waktu pengulangan menurut KUHP Korea  adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana, tanpa membeda-bedakan yang satu dengan yang lain. Dan dalam hal pemidanaan Indonesia menganut pidana pokok ditambah sepertiga sedangkan untuk Korea pidananya di dua kalikan.

B.  SARAN
Karena Indonesia sedang dalam tahap pembaharuan hukum pidana, maka untuk memperoleh hukum yang lebih baik Indonesia dapat mencontoh hukum pidana Korea dalam hal Pengulangan. Karena fenomena yang terjadi di Indonesia tingkat pengulangan tindak pidana (residive) masih sangat tinggi karena hukuman yang diberikan masih terlalu ringan sehingga tidak menimbukan efek jera kepada pelaku. Sedangkan di Korea pidana untuk pengulangan di dua kalikan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan untuk tidak mengulangi perbuatannya.
 

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2001, Pembelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Andi Hamzah, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta
Barda Namawi Arief, 2003, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Daliyo, 2001. Pengatar Hukum Indonesia. Prenhallindo. Jakarta
Martiman Prodjohamidjojo, 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta
Moeljatno, 2008. Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta
M. Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalahandan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta
Roeslan Saleh, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta
Romli Atmasasmita, 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung


[1]  Roeslan Saleh, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, Hal. 117
[2]  Moeljatno, 2008. Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 86
[3]  Ibid, Hal. 94
[4]  Andi Hamzah, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 109
[5]  Daliyo, 2001. Pengatar Hukum Indonesia. Prenhallindo. Jakarta, Hal. 48
[6]  Martiman Prodjohamidjojo, 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 218
[7]  Op.Cit, Hal. 59
[8]  M. Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalahandan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, Hal. 135
[9]   Adami Chazawi, 2001, Pembelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 167
[10]  Ibid, Hal. 171
[11]  Ibid, Hal. 173
[12]  Romli Atmasasmita, 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung, Hal. 166
[13]  Ibid, Hal. 172
[14]  Barda Namawi Arief, 2003, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakartam Hal. 74
[15]  Ibid, Hal. 85
[16]  Ibid, Hal. 87

Tidak ada komentar: